Senin, 28 September 2015

Rindu pilu yang mematikan, jurus ampuh sang Empunya.

Bahkan detikpun berspasi, bagaimana bisa aku menggambarkan rinduku seperti waktu? Sedang aku merindumu tanpa celah, tanpa rongga, tanpa ruang.
Bagaimana bisa aku merindumu dengan perumpamaan semesta, sedang semesta berlaku adil menduakan siang dan malam agar tetap akur berbagi persembahan.
Bagaimana bisa aku menyamakan rinduku adalah jarak? Karna aku merindumu tak berdiameter, tak menggunakan kata 'kecil', 'sedikit', ataupun '0' , ia semakin hari semakin bertumbuh.
Bagaimana bisa rinduku menyemai angin? Sedang aku merindu berarah tertuju tepat di ragamu, sedangkan angin adalah wujud abstrak yang tersesat, tak tahu arah. 
Bagaimana bisa aku merindumu seperti hari? Yang berganti tiap gelap menyelimuti. Nyatanya aku merindumu mutlak, tak terelakkan, bahkan tak ada kata sebelum dan sesudah, kemarin atau pun lusa. 
Maaf merindumu sedemikian memilukan dengan begitu banyak dan berkali-kali tanpa berarti apa-apa, aku hanya merindumu, sebagaimana rindu yang semestinya, maaf membuatmu kelelahan, mulai saat itu dan saat dimana rindu ini tak beraga, kamu akan memikul rindu yang kian hari makin berumur ini, nikmati rindu ini, semoga tidak menjadi bebanmu melangkah.
Istirahatlah. Kau harus mempersiapkan diri untuk kurindui lagi esok pagi.

Rabu, 23 September 2015

Kasih ibu sepanjang jalan, kasih ayah sepanjang masa.

Adalah mama yang membesarkan ke lima anaknya dengan cara yang entah bisa di katakan salah, tapi wataknya berpedoman atas didikan yang dia dapatkan 50 tahun silam, didikan yang entah bisa di katakan tidak wajar, atau salah cara, entahlah, hanya si pembaca yang bisa menilai.
Ketika beberapa anaknya tumbuh dengan watak yang keras kepala, apa di dalam hubungan keluarga itu masih ada kasih sayang? Itu yang terjadi selama ini, kasih sayang yang tentunya seorang ibu berikan kepada anak tidak ia peroleh, tapi ayah yng memberikannya, apakah dengan begitu semua sama saja? Tentu saja tidak, tugas seorang ibu dalam pertumbuhan anaknya adalah seperti perumpamaan, apa yang kau tanam, kelak itulah yang kau tuai, kau bisa memetiknya suatu saat, entah itu baik ataupun buruk. Ketika kelak tuamu kau pertanyakan, mengapa anak yang ku besarkan susah payah berperilaku mengecewakan saat ini, sebaik kembali lagi anda mengupas masa lalu, untuk lebih paham yang terjadi saat ini adalah dampak dari masa lalu. 
Adalah seotang anak ke tiga dari keluarga tersebut, yang menjalani masa kuliahnya tanpa kerinduan yang hangat seperti yang teman-temannya lakukan tiap akhir semester, mungkin hanya merindukan rumah dengan beberapa kenangan kecil sepermainan di dalamnya, tapi tidak pada kerinduan yang tertuju pada sesosok perempuan yang tengah memasak di dapur rumah saat itu, ketika ujian akhir semester berakhir semua teman sibuk merindukan apa yang sangat hangat untuk diulang tanpa jenuh, tapi berbeda dengan dia, sebut saja jingga. Setiap harinya dengan kegembiraan yang tergambar di senyum manisnya tiap hari, tidak sama sekali memperlihatkan kehangatan yang kurang iya dapatkan ketika kembali ke kampung halaman. Terkadang ada pikiran-pikiran untuk berlibur ke tempat lain, atau berdiam diri di kosan selama beberapa pekan, mungkin dengan begitu sedikit kehangatan bisa iya ciptakan. Meskipun demikian, tiap manusia dengan cara yang berbeda menjadikannya makin mengerti, keadaan yang sebenarnya iya elak sejak dulu. 
Sesekali teman jingga ingin tahu bagaimana kasih sayang seorang keluarga membesarkanmu, temannya tak lain bernama balao, jingga berdiam sejenak lalu menceritakan apapun yang ada di angannya, bukan kenyataan, bukan yang telah terjadi tapi apa yang ingin ia wujudkan.
Dan mereka berbagi cerita tentang hidupnya masing-masing. Dan terpana ketika mendengar kisah hidup yang di alami balao, ternyata hidupnya lebih menyakitkan dari yang dia rasakan, dengan keluarga broken home, dia bisa sampai di sini dan berkuliah karna kebaikan dari sepupu yang membiayainya, merasa bersyukur ketika apa yang kita alami masih lebih beruntung ketimbang hidup orang lain di luar sana. Seketika pembelajaran soal hidup mulai bertambah, mulai membuat sosok jingga mekin menuju bijaksana. Meskipun akhir semester ini berlalu tanpa pulang ke kampung halaman, bersyukur, bahwa tiap langkah yang membawamu saat ini mengajakmu untuk lebih mengenal arti hidup yang sebenarnya. Ketika beberapa telah terjadi satu persatu akan menjalani kehidupan masing-masing, dan hal itu yang di rasakan jingga, ketika kakak pertamanya memutuskan untuk menikah, hingga saat iya berbahagia, bahkan sebuah sms pun susah untuk orang tua jingga peroleh. Kerinduan terhadap anak yang di rasakan kedua orang tua jingga membuatnya makin ingin tahu arti hidup.

Bersambung...

Senin, 14 September 2015

Miliki dengan keterbatasan.

Entah sampai kapan batas memiliki yang sebenarnya, mungkin hanya beberapa sadar yang masih menggeliat di jemari, untuk mengabadikan apa yang saat ini terasa hampa. Hanya mencoba berbaik sangka pada keadaan bukan berarti mempercayai segala mimpi yang malam berikan begitu panjang. Meski tak sehangat malam itu, kamu dengan hasratmu kulihat makin berlabuh, makin memaksa menyatukan raga yang masih terhalang tembok besar, makin menjadi-jadi untuk meminta hak tanpa memulai kewajiban. Kamu bukan kamu yang sebenarnya, ketika inginmu bergejolak berlebih, meski setiap hal tercipta dengan ambisi, tapi ketika kamu pahami, waktu akan murka ketika serakahmu meminta hak yang kongkrit. Jika hari ini langit mencoba mengingatkan akan masa kecilmu yang begitu manis, mungkin saat itu adalah saat dimana mimpi-mimpi di masa depanmu makin dekat, jika yang pergi tanpa perpisahan membuatmu makin terpuruk, ketahui bahwa sesegera mungkin kamu akan bertemu dia, dengan peringai yang lebih layak. Begitu pula yang harus kamu tampilkan pada fajar yang enggan mengucap salam perkenalan, serta kepada jingga senja yang sebaliknya berkata agar beristirahatlah selembut malam memelukmu, lelahmu adalah cerminan kamu yang baru di esok terbitnya terang.