Aamiin...
Minggu, 05 Januari 2020
beberapa yang menjagaku adalah titipan, beberapa yang pergi sudah pasti ujian.
Saya tidak pernah tahu, sebuah kepantasan-kah untuk memamerkan sesuatu yang dimiliki itu lumrah atau malah ria. Entah itu berbentuk makanan yang enak di santap, atau perasaan yang tengah berbunga-bunga meski di musim gugur, dan apapun-apapun sebagainya. Saya sendiri masih gagal paham, mengapa tanggapan teman-teman online menjadi hal yang paling ingin diraih. Setiap malam, saat telah berada di tempat tidur, yang ku pikirkan hanyalah mempertanyakan deadline atas apa yang saat ini untukku dan selalu menjagaku. Sebab kepergian terdalam pada kecewa, yang justru kerap kali membuat kita lupa bahwa ada fase ikhlas yang harus dilalui setelah tersakiti. Saya selalu membayangkan kekuatan terakhir apa yang ku miliki di saat-saat semua yang dititipkan sudah harus kembali ke tempat asalnya? Entah tangis berkepanjangan ataukah renungan yang berlarut. Saya pun tak dapat memastikan sesanggup apa mataku terbelalak menanti fajar serta sebaliknya, semampu apa mataku menyaksikan benam. Melihat tawa di jejaring sosial bahkan akan menjadi hal yang mengerikan esok. Entah dunia yang telah berubah, atau cara pandangku terhadap dunia yang tak lagi sama. Ku tulis beberapa harapan untuk menghindari sial, terkesan agak kasar, tapi biarkan ku menyebutnya seperti inginku. Tak usah di pahami, tapi tolong dimengerti maksud dari apa yang sebenarnya menjadi ketakutan bagi setiap orang atau siapapun berbeda. Entah tersampaikan pada langit ke tujuh ataukah mengendap bersama lara bianglala. Yang mereka kenali dari sisi baikku adalah apa yang mereka lihat di sosial media, tapi tidak di hari-hariku. Mereka menganggap hidup tanpa seseorang sungguhlah beruntung dari diri diri sendiri, tanpa tahu tiap kesulitan di jalani dengan cara yang diri kita anggap benar. Beberapa orang tak perlu perkenalan untuk ntuk menyimpulkan bagaimana karakter seseorang. Kita tak lagi butuh temu untuk bisa saling dekat. Jaringan selalu mensupport apa yang hendak ingin kita ketahui dari orang tersebut tanpa perlu kenalan ke rumahnya. Tak perlu tanya kamu suka makan apa? Tak usah chat kamu sedang apa?, tak usah mencari dia ada dimana. Kita benar-benar berada di era milenial, yang apa-apa hanya perlu menari(kan) jari jemari di latar handphone tanpa butuh banyak energi. Yang ku tahu kita semua ahli dalam menyimpulkan kesalahpahaman. Yang ku tahu beberapa dari kita akhirnya berselisih tanpa mendahulukan kompromi. Yang ku tahu terkadang kita menaggapi dengan tajam tanpa mendengar alasan yang terampung lalu menutup telinga. Kita seolah menjadi pemenang di ego kita masing-masing. Merasa bangga dengan hura-hura. Menjadi primadona di atas imajinasi. Menjadi penguasa di alam bawah sadar. Menjadikan status postingan sebagai kode, tapi malah orang lain yang baper (bawa perasaan). Menjadikan status sosial media wadah dari amarah, menjadikan postingan sebagai jawaban atas kritikan. Tidak punya batasan keji dalam ketikan, katanya gak masalah bukan lewat bibir. Cibiran di jemari justru lebih perih. Kita mengayunkan paragraf deduktif agar lebih mengenai banyak pihak. Mengutaran dengan mengumumkan adalah cara yang antusias menurutmu agar terlihat berkesan. Tapi lupa, tidak semua orang ingin menayangkan kisahnya di sosial media. Terkadang memilih untuk lebih memprivasi cerita dan kenangan terbaik adalah dengan menyimpannya di ingatan. Meski ingatan tak sepenuhnya bertahan. Tapi beberapa orang tak butuh like dari postingan, untuk menambah nilai bahagia dari kenangan berharga itu. Yang kita butuh adalah bagaimana bisa saling menolong di dunia nyata. Sebagian orang memilih mempertahankan hubungan dengan memamerkan kebahagian di story Facebook dan Instagram. Lalu ketikan cekcok tanpa malu pun di bagikan ke penonton setia story sosial media. Yang berdoa atas kebahagiaanmu yang sering terupdate belum tentu turut berduka. Lantas yang mendoakanmu agar supaya kebahagiaanmu segera berakhir malah termehek-mehek sambil nangis. Jangan percaya hati yang terlihat baik-baik saja di media sosial. Saya pun dalam postingan di berbagai sosial media tak selalu benar-benar seperti postingan. Menipumu membuatku merasa aman dari celaan. Tapi salah, justru hal demikian adalah pembohongan publik yang termasuk bagian dari dosa. Kemarin melihat postinganmu membuatku iri, saat ini melihat postinganmu membuatku sedih. Kamu terperangkap dan jatuh terlalu dalam. Semoga medsos dan seisi postingan kita semua yang akan menyalamatkan kita dari api neraka !
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar