Minggu, 07 November 2021
senantiasa di sukma
Malam malam, seperti menatap bintang yang samar, terlintas potretmu dengannya, yang sudah sangat jauh melupakan kenangan kita. Mungkin langit membuat semua ini sangat mudah bagimu. Tapi ku bersyukur hari demi hari yang tanpa tawamu membuatku kini mampu tertawa dan terbiasa. Ku bersyukur akan kepergianmu kini tak terasa menyayat lagi. Ku berterimakasih pada angin yang bisa ku belai tanpa rasa sedih karna harus melalui rasa pedih berhari-hari untuk terbiasa tanpa pesan darimu. Semoga yang akan kau temukan adalah seseorang yang lebih menyayangimu dari yang dulu pernah aku lakukan. Semoga malammu tak lagi melelahkan mengingat pagi yang akan menagih janji untuk dipenuhi. Semoga tidurmu pulas tanpa mempertimbangkan keputusan terberat apa yang harus kamu pilih. Semoga keputusan mengakhiri hubungan kelak untuk menuju pelaminan. Meski bukan denganku yang cengen, meski dulu harapan kita pernah sama rasa, semoga kamu tak pernah merasakan sepi saat bersama dia yang kamu pilih saat ini untuk menggantikan posisiku di hidupmu. Semoga harimu selalu berarti karna ada dia disisimu. Doakan aku yang akan memulai hidup yang sebenarnya, hidup yang sama sekali tidak pernah terlintas akan ku lalui bukan dengan kamu. Doakan aku selalu ikhlas atas segala hal yang pergi atau terlepas dariku. Semoga sabar selalu menguatkanku untuk menghadapi segala yang tanpa sabarmu lagi. Semoga semua doa terbaikku untukmu berbalik ke aku yang selalu menyimpanmu jauh... jauh... di sukma. Dan semoga aku tak akan pernah menjadi perdebatan atau perbandingan baik burukku akan dia yang kini bersamamu. Semoga kamu akan mengenang segala yang baik dariku terlebih dengan banyak burukku terhadapmu. Maafkan penantianku yang panjang dan melelahkan membuat kita menyerah akan satu sama lain. Memang jarak membuat kita makin jauh, memang rindu akan memudar seiring waktu berlalu. Memang kenangan akan sirna setelah ada sosok baru. Semoga kamu dan setiap hal di hidupmu selalu dalam keadaan baik-baik saja, meski aku tanpamu tidak pernah baik-baik saja.
Selasa, 02 November 2021
mengikhlaskan ≠ merelakan
Hubungan yang terlalu lama memang tidak selamanya menjadi akhir yang indah, hal ini justru membuat kita makin jauh, makin mengenal makin membuat semuanya menjadi biasa saja. Hubungan yang kian kesini tidak menunjukkan arah yang pasti. Kita makin menjauh, rasa makin memudar, rindu makin datar. Mungkin karna rasa juga punya umur masing-masing. Merasa sepi menyakiti, membuat diri makin prihatin pada kamu yang asyik dengan duniamu. Kadang ingin berlalu pergi, pergi yang jauh dan berharap kamu akan mencari. Justru menjadi hal yang sia-sia. Perih yang datang malah silih berganti, tak pernah letih mengakhiri. Sudah sampai mana perjuangan ini? Jika saja waktu tidak membuat rasa kita menua, apa kan hilang kemungkin untuk kita sekali lagi manjadi asing?
Jika aku, kamu, kita menengadah ke langit dengan harap yang sama, apa semesta akan merestui?
Jika kita sama-sama berhasil dalam usaha untuk sukses, apa kita masih saling menemani saat berusaha kini tak lagi susah payah?
Sepi benar-benar pilu. Iya mengingatkanku akan satu hal. Pada rencana kita untuk masa depan yang kini gagal.
Andai waktu punya solusi tepat untuk cepat melupakan.
Andai tidur mmembuatku terlelap, ku harap semua ini hanya mimpi.
Andai kamu tak tergesa untuk memilih pergi dari hidupku, aku kira aku bisa cukup rela. Melepasmu dengan pelan-pelan. Mengikhlaskanmu dengan perlahan dan cukup hati-hati.
Andai jarak yang tak berarti, apakah kita akan selalu baik-baik saja?
Andai batin mu tak terkoyak, apa masih ada celah untuk menyembuhkannya dengan maaf dan air mata?
Justru perih silih berganti, kecewa makin naik level, kamu yang sudah jauh pergi, aku yang masih tetap disini...
Kulangkahkan lagi, kupaksakan lagi kekuatan untuk berjalan menyisiri setiap sudut kota, bersama langkahmu yang tak lagi ada.
Apa kita akan baik-baik saja? Jika bukan lagi aku, kamu, kita? Apa benar kita harus berakhir dengan cara yang menyakitkan? Apa dengan tega adalah jalan keluarnya? Apa dengan menyakitiku kamu akan tetap baik-baik saja?
Jika benar bukan aku, kita bahagia yang kamu cari, mari saling berjanji, bahagialah dengan caramu. Bahagialah dengan tidak lagi mengingat hal yang menyakitkan yang dulu pernah kita hadapi. Berjanjilah untuk lebih bahagia lagi dari apa yang dulu pernah kita lalui.
Kamis, 15 Juli 2021
perbandingan milikku dan milikmu.
Malam yang sendu, hujan selalu saja menyisakan dingin dan sepi, begitu pula kenangan, selalu menyisakan kecewa meski banyak bahagia telah berlalu jauh lebih dulu di lampau. Ku amati lumat-lumat, orang-orang yang menyakiti lalu, hidupnya bahkan lebih bahagia dari apa yang terlihat dari layar handphone, terlebih lagi di dunia nyata. Selalu saja ku pertanyakan kepada Tuhan. Meski tahu hal itu adalah dosa.
Seharusnya hal demikian tak pantas muncul di kepala, tapi naluri manusia yang penuh dosa selalu saja berontak, berbisik dari lubuk benak. Tidak sekalipun kutemukan jawabannya. Meski pasti, jawaban itu selalu ada.
Hal lain, alasan mengapa aku yang selalu jadi yang tertinggal dalam segala hal, apa untuk lebih giat?, agar supaya di ujian selanjutnya lebih tabah?, atau mungkin jarak antara hatiku dan Tuhan sudah terlampau jauh dari rasaku ke kamu? Mungkin memang semua yang terjadi butuh alasan dan sebab sehingga kita selalu di pertemukan pada perseteruan argumen. Saling menyalahkan, saling membela diri, saling mengukur perjuangan, padahal semua rasa yang dulu adalah suka rela tanpa pamrih. Saling menuntut akan memberi dan diberi. Padahal dulu, kita selalu saja saling mengupayakan akan segala hal. Saling memberi arti, saling memberi ruang untuk juang yang tak sedikit waktu.
Perlahan waktu dan langkahmu yang makin samar, makin tak ku temukan dirimu, membuatmu berubah, membuatmu beda, mengenal seseorang yang lain, menjadikanku perbandingan, antara baik dan banyak buruk yang dulunya kamu terima dengan lapang.
Lalu berubah menjadi hal yang tak dapat kamu tolerir, setelah perjalanan kita yang hampir sempurnah.
Selalu ku ingin menjadi jahat, demi untuk membalas rasa kecewa, dengan benar-benar berniat. Lalu luluh lantah, tak berdaya ketika pesan singkat darimu yang berisi 'maaf'
Sungguh tak ada dayaku untuk berusaha menjadi jahat kala itu adalah cara ringkas yang menurutku setimpal untuk kamu rasakan pula. Tapi sampai pada niat, sama sekali tak bernyali untuk menghidupkan niat busuk yang akan membuatmu kecewa.
Sebesar itu usahaku membuatmu terjaga, dari rasa kecewa. Dari rasa khawatir, dari segala rasa yang menyesakkan rongga dada.
Memang hati yang lemah, adalah tempat paling bisa untuk menangisi segala hal dan menjadi baik-baik saja setelahnya.
Kamu tahu kenapa sampai saat ini aku belum siap baik-baik saja?
Sebab, begitu banyak bahagia kita dulu, yang selalu ku bandingkan dengan bahagia yang ku hadapi saat ini, yang masih seumur jagung, sama sekali berbeda dwngan kenangan yang dulu kita bangun berdua. Bukan karna dia yang pergi jauh lebih baik dari yang saat ini tengah berusaha mendapatkan hatiku. Bukan, bukan sama sekali, hanya saja, waktu membuatku terbiasa menghadapi sosok kemarin. Yang sungguh membuatku sedih, bukan karna tak lagi tahu kabarmu, tapi karna gagalnya rencana masa depan yang ku rakit dengan sepenuh jiwa yang saat itu rapuh. Sosok pemendam ketika mengekspresikan amarah di kepala, dia yang memilih diam saat marah adalah kebiasaanku saat itu, meski kadang kebingungan, 'aku salah apa yah?' Tanpa berpikir panjang, ku akan meminta maaf dari dia yang bertahun-tahun selalu punya maaf untukku yang cukup kekanakan. Kadang ketika amarahnya belum juga reda, membuat diri berhari-hari merenung, sebab yang menjadikan dia kesal bahkan hal yang sama sekali tak terduga, dari waktu ke waktu yang ku habiskan bersama selama kurang lebih 5 tahun. Masih saja ku dapati diriku terbiasa meminta maaf tanpa tahu kesalahanku apa.
Sampai saat ini, rindu masih sendu, beradu pada haru, sebab hari ini ku lihat senyum dibibirmu yang bukan lagi untukku, bukan aku yang tepat di sampingmu, mendapati kabar baik darimu, bukan aku lagi ruang untuk segala moodmu yang kacau. Menikmati senyummu adalah hal yang paling hangat, yang bisa aku dapatkan dari kamu yang lebih banyak diam dan asyik dengan duniamu sendiri.
Ku ingat lagi, terkadang ketika ku rindu merdunya tawamu yang terbahak, ku coba untuk menggelitik bagian sensitif yang ada ditubuhmu. Kamu akan sangat terbahak ketika merasa geli.
Ku ingat lagi, ketika menemanimu bermain futsal, sederas apapun keringat yang jatuh dari tubuhmu, sama sekali, tak meninggalkan aroma tak sedap. Kamu yang bahkan memakai parfum sesekali pun tak pernah ku dapati kamu dengan bau jigong, tidak termasuk bau kentut. Selama melalui hari-hari beberapa tahun kemarin, tidak sekali pun, indra penciumanku memprotes wangimu yang kurang enak. Sungguh beberapa dari banyak hal yang ada padamu adalah hafalan di luar kepalaku.
Sekuat apapun, kuberjalan, selalu saja album foto 'kita' ku buka sambil menitikkan beberapa butiran air mata. Sambil menengadah dalam-dalam benak bertanya dan masih mengira semua ini hanya mimpi belaka. Bahwa kita akhirnya menjadi orang asing dengan sengaja, bahkan sebelum menjadi keluargamu yang sebenar-benarnya, kita benar-benar yakin, tak akan ada akhir untuk menjadi orang asing kini. Tekad yang bulat-bulat, ku telan mentah-mentah untuk berusaha menerima keadaan yang kini tengah ku harapkan hanya sebagai mimpi buruk.
Semeyakinkan apapun aku menjelaskan kamu tak akan paham. Bahwa menunggu pimalinya sia-sia.
Sekuat apapun aku melawan ingatan tentang banyak hal baik dahulu, sangat mudah terhapus dengan beberapa kesalahan kini.
Kecewa yang terlalu curam adalah bentuk yang berharap begitu menghanyutkan. Sebab keyakinan yang paling serius adalah ketika kamu sujud sambil berdoa memintaku kepada Tuhan untuk disandingkan namamu berada tepat di sebelah namaku, Tapi nyatanya, dalam berdoa pun ku seorang diri berperjuang. Berjuang seorang diri adalah mustahil, tapi jika dilakukan bersama adalah hidup.
Tuhan jelas lebih tahu, untuk pantas tidaknya, untuk siap belumnya. Tuhan memang lebih bijak dalam menentukan durasi untuk bersama lalu terhenti didetik kesekian. Untuk memulai detak yang baru lagi.
Tuhan jelas lebih ahli dalam menentukan perasaan tepat jatuh pada siapa, untuk menenangkan siapa dan dengannya.
Disisinya aku berdoa agar disisimu selalu ada sosok yang tak akan pernah pamit meski kau memintanya pergi berkali-kali. Seperti aku yang pernah lelah berkali-kali tapi tidak sanggup untuk untuk kemana-mana tanpamu.
Jumat, 23 April 2021
ruang = (rindu × jarak)
Katanya rindu menguatkan, iya justru melemahkan, bahkan sampai pada persendian, iya terasa menyakitkan, bayangkan saja berapa persendian yang ada di tubuh manusia.
Mengenang kebersamaan membuat isak makin teriak. Katamu jarak membuat kita selangkah lebih dekat dalam bersatu, nyatanya satu atap pun tak kunjung patuh. Katanya terpisah hanya sementara, pada akhirnya menjadi selamanya. Sudah cukup untuk mengatasnamakan rindu dari segala penjuru jarak dan waktu. Sebab tak lagi ku dapati, janjimu kian berlabuh. Sudah cukup tangis mengantar doaku ke langit, sebab usahamu tak turut menyertai. Sudah cukup untuk semua perjalanan yang tanpa akhir, sebab menanti bukan lagi takdir. Yang ku yakini, kesendirian saat ini, akan membawaku pada perjalanan yang panjang, entah akan di temukan, atau kau yang lebih dulu menemukan. Kita tidak sedang beradu jadi lebih bahagia satu sama lain. Kita hanya sama-sama sedang berjalan, dengan tujuan yang berbeda, sebagaimana mestinya perjalanan membawa kita untuk lebih menjauh dari kenangan lalu. Agar luka tak lagi menganga, agar duka tak lagi berkuasa. Agar aku dan kamu sembuh pada rapuh yang membisu. Meski semu, kita akan selalu ada pada kenangan itu. Cukup mengingatmu pada suka, tidak pada duka. Sebab benci adalah jejak cinta yang masih menjadi misteri untuk ku hapus seutuhnya. Sebab sukar tak mungkin tertukar pada belukar. Sebab hari ini tak akan mengalah pada indah hari kemarin. Tak akan ada perbandingan, sebab tak ada timbangan yang tepat untuk mengukur seberapa bahagiamu ketika denganku atau pun kini dengannya.
Cukup untuk jarak yang ku sesalkan setiap saat. Sebab berada di dekatmu saat itu tak membuat rinduku sama sekali berkurang, bahkan semakin mengembang. Seolah balon yang tak pernah kenyang oleh angin. Seolah ruang yang tak pernah meratapi sepi, seolah dada yang takkan sesak oleh udara.
Senin, 05 April 2021
kembali ke awal
Andai, kita bisa mengingat kembali bagaimana lucunya kita di masa balita. Andai waktu mengizinkan kita untuk tetap berada di rasa tanpa asa.
Hari ini, ku pandangi potret yang samar-samar termakan usia. Ia adalah bagian dari hari ini dan hari-hari bahagia lainnya. Kamu tahu? Menjadi anak kecil adalah sebuah kesenangan... Iya tak pernah mengeluhkan masa yang sulit, dia menangis ketika lapar dan ketika keinginan kecilnya enggan terpenuhi. Ketika kecil kita hanya berangan-angan untuk tetap bahagia, tanpa tahu jalan yang akan kita hadapi amat sangat menguras jiwa, pertahanan, energi dan air mata. Menjadi balita membuat kita tertawa dan bahagia dengan cara yang sederhana. Yang kita butuhkan untuk bisa tumbuh adalah cukup dengan kasih sayang orang tua. Tidak butuh perhatian orang lain yang memang bukan bagian dari keluarga kita. Menjadi anak kecil membuat kita marah akan hal yang sepele. Ketika masih belia, kita menangis tersedu-sedu ketika mainan kita di rampas anak lainnya, kita menjadi cemburu ketika ibu lebih dulu memeluk kakak di banding adik. Menjadi anak kecil, balita ataupun belia adalah bagian dari rasa yang sepele tapi sangat mengasikkan. Kita tak perlu memikirkan bagaimana beratnya mencari nafkah, bagaimana sedihnya ketika seorang diri melalui masa sulit di perantauan, bagaimana sedihnya ketika di kecewakan orang lain. Bagaimana menyakitkannya di khianati orang lain, bagaimana pedihnya ketika rasa tak kunjung mendapat balasan. Bagaimana sedihnya makan seorang diri. Bagaimana sakitnya menjalani kesulitan sendiri. Nyatanya, semakin dewasa kita semakin melalui banyak kesedihan. Pada akhirnya semakin dewasa kita lupa kebahagiaan-kebagiaan kecil terlupakan. Semakin tua bukannya semakin dewasa. Malah makin sering pegal-pegal. Semakin berumur bukannya semakin terbiasa malah semakin manja. Ku pikir semakin itu adalah jalan menuju ke hal yang lebih bijaksana. Tapi beberapa orang dan waktu yang iya miliki adalah membuatnya makin lupa banyak. Lupa bersyukur, lupa berusaha, lupa Tuhan, Lupa ajal, lupa orang tua, lupa shalat parahnya. Semoga yang menulis ini pun selalu di beri ingatan untuk tidak lupa. 🙃
Hari ini ku lalui hari dengan rasa takut dan cemas, karna adanya angin kencang. Semoga besok ada pelangi dan senja, semoga hujannya ramah meskipun kendaraan bermotor pada kotor. Semoga esok hari mood kerjaku semakin meningkat dan makin bertanggung jawab. Doa untuk semua yang membacanya juga. 🙏🏽
Kembali ke masa balita, adalah khayalan gila yang inginku terjadi di hidupku, mungkin adalah salah satu kurangnya rasa syukur. Meski dalam sujud berucap syukur tapi begitu sulit di realisasikan. Mungkin kalian juga kadang seperti ini. Entah kenapa yah? Kebahagiaan yang lalu-lalu selalu kita lupakan ketika ada sesuatu yang membuat kita kecewa. Kita lupa jalan kebahagian yaitu melalui lorong sedih dahulu, berjalan dengan di topang rasa sabar, bertenaga doa. Kita lupa bahwa proses untuk ada di tahap tersebut tidak menetap. Benar kata semua bibir-bibit pujangga. Kehidupan itu adalah rota, ada poros dan berputar, tidak dalam keadaan monoton. Iya bergerak ke atas ke bawah, silih berganti untuk sampai di tujuan. Ku pikir semesta benar-benar tercipta sangat sempurna. Iya begitu seimbang, meski kita yang menghadapi selalu merasa ketidak adilan. Tuhan (Allah SWT) benar-benar Maha Kuasa, IYA benar-benar menutradarai kehidupan hingga masa yang tak terhingga. Menciptakan kehidupan kekal setelah melalui mati.
Kita benar-benar beruntung bisa hidup, meskipun merasakan paniknya bencana alam, dahsyatnya cobaan hidup, tapi kita manusia yang memang benar-benar beruntung, sekalipun tiap nafas yang berhembus tanpa henti mengucap syukur, tak akan pernah cukup atas nikmat yang telah kita peroleh.
Allah SWT Maha baik, Tuhan kalian pun tentunya, semoga apa yang kita yakini masing-masing adalah tempat kita mengadu segala bahagia dan sakit tanpa batas.
Semoga setiap mata yang terpejam malam ini, bisa merasakan udara sejuk esok pagi. Dengan cobaan tapi begitu banyak jalan keluar. Dengan kesusahan tapi dengan segudang kesenangan yang tanpa melanggar ketaatan.
Hidup memang berarti, sebab ketika mati, 3 hal yang orang lain akan kenang adalah, nama, kebaikan dan keburukan. Meski baiknya kadang pura-pura, tapi seseorang pasti akan mengenang hal tersebut dengan suka cita. Meski buruknya sangat tak termaafkan, seseorang akan berbaik hati memaafkan tanpa perlu kata maaf.
Karna hati adalah tempat suci, yang kadang tergoda oleh banyaknya kesempatan dosa. Karna hati tempatnya putih dari segala noda yang berwarna suram. Semoga Ramadhan menyambut amalan kita dengan damai. Semoga kita berjumpa dengan ramadhan kali ini dengan sehat sentosa. Adil dan makmur. Semoga hari yang melelahkan ini adalah selangkah lebih dekat dengan surga yang semua orang idam-idamkan. Semoga besok tensinya normal yah. 🙃
Selasa, 19 Januari 2021
tulisan untukmu, tidak untukku.
Hari ini, hari kemarin ataupun esok nanti, aku akan menulis, bukan serta merta karna perasaan yang seperti itulah yang terjadi. Sebab menulis di blog pun adalah suatu yang sangat sulit sampai saat ini. Ku rangkai kata demi kata agar si pembaca bisa mengerti, bukan karna aku ingin di mengerti. Ku rangkai kalimat agar semua rasa, beku, bersama waktu yang tidak dapat ku hentikan, bukan agar supaya kamu (si pembaca) dapat mengecap rasa apa yang pernah ku cicipi. Tapi hanya untuk menjadi cerita panjang tentang bagaimana aku akan memulai sebuah tulisan demi tulisan yang kelak bisa di baca oleh seutuhnya penulis amatir seperti saya sekarang ini. Ketika menulis sesuatu yang menyakitkan dan menyedihkan, ku ingat lagi, kamu yang selalu menganggap hal itulah yang tengah ku hadapi. Ku ingat kamu satu-satunya orang yang selalu melihat sisi buruk dari diriku dengan begitu banyak salah. Ketika ku tulis sesuatu kamu menganggap hal demikian memanglah yang menimpaku, lalu kamu mencari tahu kabarku melalui tulisan-tulisan ini. Dan menyimpulkan sekurang bahagia apa aku saat ini. Tanpa kamu sadari, kamu adalah pembaca yang selalu mencari tahu keberadaanku di tulisan ini. Hal yang paling tidak kamu ketahui dariku adalah, ketika jujurku membuatmu terganggu, tapi saat itulah apa yang benar-benar saya rasakan telah ku utarakan sebening hening. Tapi yang kamu pahami tak sejalan dengan apa yang tengah ku sampaikan. Tak masalah, semoga salah paham ini makin membuatmu ingin tahu keberadaanku di tulisanku.
Selamat malam untuk 3s -ni (nol)
Semoga makan malammu memberi kekuatan, semoga tidurmu memberi semangat. Untukmu yang tengah berjuang membantu sesama. Untukmu yang berkali-kali merasakan sepi, sebab aku ramai yang begitu kamu benci.
Rabu, 13 Januari 2021
aku adalah tulisanku, aku adalah isi kepalamu, tapi bagiku, aku adalah apa yang kamu simpan di hatimu.
Cocoklogi ≠ toleransi
Ketika suatu hubungan yang sangat rumit di jalani, kita tidak serta merta memilih untuk berpisah, hanya karna banyak ketidak cocokan, tapi ada satu kecocokan, kita bahkan memilih satu itu karna?
Yah karna adanya rasa yang makin hari makin tumbuh. Dan ketika waktu bersama membuat beberapa orang merasa lelah, jenuh, itu adalah suatu kondisi yang sangat umum, ketika kamu mampu melalui semuanya, cobaan demi godaan, satu persatu akan terasa bisa untuk di lalui. Bukan terasa mudah yah, sebab tak ada cobaan yang tak menguras hati, tenaga dan pikiran. Katamu kita tidak bisa merubah keadaan, kataku keadaan akan takluk pada kita, aku kamu berjuang. Ketika salah satu dari kita mulai goyah, satu dari yang lainnya akan kewalahan. Kamu tahu? Berjuang seorang diri itu melelahkan. Menahan rindu menyakitkan, tapi ketika tahu disana ada rindu yang juga menanti meski tak harus sama banyak, dia pun tetap timbal balik dari sebagian kecil harapan. Ketika kamu sudah mampu melihat masa depan dengan angan, kamu menyadari semua sia-sia dan tak ada arti, tapi bagiku hidup yang sebenarnya baru dimulai ketika kita benar-benar sudah sah untuk melakukan perjalanan panjang bersama.
Ketika masa membuat kita merasa lelah bersama, coba ulas kembali, arus panjang bagaimana yang sudah kita susuri hingga sampai pada masa kini. Ketika salahku, salahmu sudah terlalu banyak menghabiskan maaf, kamu tahu ? di antara kita berdua bukan lagi karna rasa yang dulu masih sama, tapi karna waktu yang telah lama kita habiskan bersama menjadikan kita saling toleransi. Sebab tak ada kecocokan atau keseimbangan pada garis ego ketika dua kepala saling emosional. Kita hanya akan saling toleransi ketika waktu yang lebih abadi dari selamanya kita taklukkan.
Langganan:
Postingan (Atom)